Pandangan Martin Heidegger Tentang Ontologi

Post a Comment
Martin Heidegger adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman. Pria yang menutup usia pada umur 86 tahun ini dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme.

Martin Heidegger berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologi, dan membedakan ontologi dengan ontic.

Pandangan ontologis Aristoteles yang didasari pandangan ada sebagai ada (being qua being) disebutnya ontic. Dalam ontic ini benda-benda dianggap dapat menampilkan diri apa adanya dan dapat tertangkap oleh indra manusia apa adanya. Heidegger menyebutnya sebagai ada di sana (seinde), sesuatu yang menampilkan diri apa adanya. Heidegger menolak pemikiran ontologis Aristoteles ini.

Selain itu ia juga mengkritik berbagai pandangan metafisika yang dikemukakan berbagai tokoh sejak permulaan munculnya filsafat sampai pemikiran Descartes dan Nietzche. Menurut Heidegger, pandangan filsuf-filsuf metafisika sebelumnya yang menaruh perhatian besar pada yang-ada (Being atau Sein) berusaha memberi makna terhadap yang-ada tetapi dengan makna yang sangat umum, dengan konsep-konsep abstrak, yang kalau dikaji lebih teliti makna sesungguhnya kosong.

Martin Heidegger

Dengan ontologi, Heidegger berusaha menemukan makna yang-ada dan menurutnya inilah tugas filsafat. Tujuan filsafat menurut Heidegger adalah membuat kebenaran yang-ada berbicara. Berkaitan dengan ini menurutnya ada 3 hal yang perlu ditegaskan:
  1. Pertanyaan tentang yang ada bukanlah pertanyaan tentang yang ada itu sendiri melainkan tentang maknanya.
  2. Makna yang dimaksud adalah maknanya yang kongkret.
  3. Walaupun istilah yang-ada adalah kata benda namun yang-ada pertama-tama harus dipahami dalam maknanya yang aktif dan dinamis.

Persoalan yang-ada menjadi sentral dalam filsafat karena merupakan masalah kunci dalam memahami kebenaran dalam perspektifnya yang lebih luas. Yang ada dan kebenaran selalu berkaitan erat dan hanya melalui yang-ada dapat dibentuk cara berpikir yang benar. Berpikir yang benar, menurut Heidegger, adalah mendengarkan dengan hormat suara das Sein (yang ada di sana) bukan memaksakan kekuasaan pada das Sein. Kita harus membiarkan pikiran dan das Sein berdialektika.

Untuk mendapatkan pengetahuan tentang makna yang ada, menurut Heidegger kita harus menyelidiki yang ada itu sendiri. Ternyata kita menemukan kita menjumpai diri kita sendiri sebagai modus yang ada. Maka pertama-tama kita harus bertanya pada ada manusia atau Dasein. Alasannya menurut Heidegger:

  • Manusia adalah satu-satunya ujud yang-adayang mempunyai kemampuan bertanya tentang makna yang ada. Hanya manusia yang memiliki kesadaran tentang keberadaaannya dan keberadaan benda-benda yang lain di dunia ini.
  • Dasein adalah mata rantai antara ada khusus dengan yang ada. Melalui Dasein, yang ada nampak. Dasein dengan yang ada memiliki ketergantungan. Untuk dapat menjelaskan salah satunya, harus disertakan juga penjelasan yang satunya lagi.
  • Yang ada membutuhkan manusia sebab dalam diri manusia yang ada bukan saja implisit tetapi juga eksplisit.

Untuk dapat mempelajari yang ada melalui Dasein maka perlu dilakukan langkah metodologis awal yaitu membuka struktur eksistensial atau kategori-kategoti fundamental ujud manusia. Dari hasil analisis terhadap fenomena manusia, Heidegger menyimpulkan bahwa manusia adalah satu-satunya ada-khusus yang memiliki kualifikasi sebagai pangkal tolak untuk meneliti yang ada. Analis struktur eksistensi ini adalah ontologi fundamental, merupakan basis dari seluruh pengetahuan. Analisis Heidegger tentang ujud manusia menghasilkan beberapa tesis pokok, di antaranya:

1) Heidegger menyebut human existence sebagai Dasein yang secara literer berarti there of being. Istilah Dasein dimaksudkan sebagai refleksi kesadaran. Dasein tidak diartikan sebagai kesadaran atau sebagai obyek apabila orang berbicara tentang kesadaran. Dasein mendahului segala formulasi psikologis, antropologis, dan biologis. Dasein juga tidak diartikan sebagai subyek sebagai mana dalam pengertian Descartes atau Kant. Dasein juga merupakan modus ada bagi manusia yang mengandung pengertian bahwa manusia selalu ada di sana, ada di tengah benda-benda lain. Manusia jatuh begitu saja ke dunia tanpa dapat menghindarinya.

2) Heidegger menemukan 3 aspek dalam eksistensi manusia, yaitu: faktisitas, eksistensialitas, dan rasa kehilangan (forfeiture). Faktisitas artinya bahwa adanya manusia selalu berada di dunia. Ada dalam dunia (being in the world) selalu berarti ada bersama orang lain (being with other).

Menurut Heidegger wujud manusia pada hakikatnya adalah wujud bersama. Heidegger menyatakan faktisitas manusia ini dengan kalimat: "Mensch-Sein ist Mit-sein" dan sebagai konsekuensinya dunia manusia adalah dunia bersama pula: "Mensch-Welt ist Mit-Welt". Kebersamaan dengan orang lain merupakan ciri dari eksistensi manusia. Manusia menyadari dirinya sebagai bagian dari modus kebersamaan sekaligus sebagai subyek yang menyadari.

Keterbukaan manusia terhadap dunia dan sesamanya didasarkan pada 3 hal yang penting: 1) Belfindlichkeit atau kepekaan;
2) verstehen atau memahami; dan
3) Rede atau berbicara.

Kepekaan, kemampuan memahami, dan kemampuan berbicara yang ada pada manusia ini memungkinkan adanya perasaan (afeksi dan emosi) serta upaya penanggulangannya pada diri manusia. Dengan adanya kepekaan, manusia menyadari adanya suasana batin. Dari berbagai suasasana batin, yang dasar adalah rasa cemas (angst). Rasa cemas ini muncul karena faktisitas manusia merupakan keberadaan menuju ke kematian (being toward death).

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter