Makalah Makna Teokrasi Dan Mornaki

Post a Comment

 


Teokrasi Dan Monarki

Bab I

Pendahuluan

Latar Belakang

Pada zaman milenia ini ternyata sistem pemerintahan mornaki masih di gunakan  oleh beberapa negera di dunia. Misalkan Negara Australia, Arab Saudi, Bahrain, Belanda, Belgia dan  lain-lain.  Istilah "mornaki" adalah "sistem pemerintahan kerajaan" . Di mana  penguasa mornaki menjadi pemimpin sepajang hidupnya bahkan  mewarisi takhta karena garis keturunan.  Bedanya dengan preside yaitu  hanya beberapa waktu saja ia menjadi kepala Negara.[1]

Kasus saat ini yang dapat kita temukan pemerintahan secara mornaki yaitu di Negara Korea Utara.  Negara ini terkenal di berbagai Negara mengenai teori masyarakat sosialis yang egaliternya. Negara ini adalah Negara yang penganut komunis. Bahkan penduduknya menyembah Kim Jong-Il yang dianggukan dan dimuliakan. [2]Setelah Kim Jong-II meninggal dunia. Maka Kim Jong-un menjadi kepala Negara di Korea Utara. Kim Jong-un ini dikenal sebagai pemimpin yang kejam dan tidak takut akan Tuhan..[3]Bahkan berbagai sumber di media sosial mengatakan bahwa ia ini tidak segan-segan menembak orang yang berbuat salah. Dia ini tidak memandang status orang. Bahkan pamannya sendiri di jadikan makanan ajing ganas 120 ekor.[4]  Kondisi masyarakat Negara Korea Utara saat ini mengalami ketakutan karena sistem pemerintahanya secara otoriter. Sehingga penduduk Negara Korea Utara merasa hidup dalam ketakutan dan tidak merasa bebas. Dan sebagai masyarakat korea Utara kabur dan melarikan diri ke Negara lain yang terdekat.

Melalui kondisi pemeritahan semacam ini, penulis akan meneliti dalam Alkitab Perjanjian Lama. Sikap seorang pemimpin yang berkenan kepada Tuhan melalui pemilihan Allah bagi hamba-Nya menjadi wakil-Nya di dunia ini. Di mana Tuhan menetapkan seorang raja atau penguasa di dunia ini untuk melakukan rencanan ilahi-Nya.

Bab II

Landasa Teori

Teokrasi

Istilah Teokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu theokratis, artinya "pemerintahan Tuhan". Oleh sebab itu dapat didefenisikan yaitu suatu bangsa dibawah pemerintahan Allah seperti bangsa Israel.[5]  Sistem pemerintahan teokrasi ini yaitu Tuhan sendiri yang memegang inti-kekuasaan. Sistem pemerintahan Teokrasi pertama kali muncul dalam Alkitab yaitu ketika Allah memerintah umat-Nya dipadang gurun. Di mana Tuhan sendiri yang mempunyai kekuasan legislative untuk membuat suatu hukum bagi umat-Nya.[6]

Monarki

Istilah kata Mornaki berasa dari bahasa Yunani monos (μονος) yang berarti satu dan archein (αρχειν) yang berarti pemerintah. Bentuk pemerintahan Mornaki dikepalai oleh raja atau ratu. Bentuk pemerintahan Mornaki terbagi tiga bagian. adlhfds

Monarki absolut adalah sistem kekuasaan tertinggi pemerintahannya berada di tangan seorang raja dan ratu. Misalkan Negara Arab Saudi, Brunae, Swazilan, Bhutan dll.

Monarki konstitusional adalah bentuk pemerintahan  yang kekuasaan kepada Negara (perdana  mentri) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan kostitusi nagara. Praktek monarki konstitusional ini adalah yang paling banyak dipraktekan di beberapa negara, seperti Thailand, Jepang, Inggris, jordania dan lan-lain.

Monarki parlamenter adalah bentuk pemerintahan yang bertanggung jawab atas kebijaksanaan pemerintahannya adalah mentri, Termasuk dalam kategori ini adalah negara Inggris, Belanda, dan Malaysia. [7]

Bab III

Pembahasan

Pembahasan Teokrasi Dan Mornaki Dalam Kitab 1 Samuel

Latar Belakang Sejarah Teokrasi Ke Mornaki

Dalam janji Allah semula kepada Abraham, Ia berjanji untuk memberkati para patriakh dengan memberikan keturunan yang banyak jumlahnya. Allah berjanji untuk memberikan Abraham nama besar dengan membuat dia menjadi berkat melalui keturunannya. [8]Perkembangan ini mengadung segi teologi, tetapi juga segi sosiologi. Allah sendiri raja. Ia memerintah segenap ciptaan-Nya, dan secara khusus umat-Nya. Ia hendak mendirikan kerajaan-Nya di dunia ini, yakni suatu ruang di mana manusia mengakui pemerintahan-Nya dan hidup dalam hubungan yang bertanggung jawab terhadap Allah dan sesama. Melalui keturunan Abraham.

Sebelum peralihan Teokrasi ke Mornaki. Allah memakai seseorang untuk menjadi wakil-Nya untuk memimpin umat-Nya. Di mulai dari Musa sampai di Hakim-Hakim. Musa dan para Hakim-Hakim adalah orang-orang dipilih Tuhan untuk memimpin seluruh Israel di zaman peralihan. Pada zaman Samuel terjadi ancaman dari pihak luar (Filistin) makin gawat pada abad ke-11 sM. Orang-orang terkemuka ingin agar ditentukan suatu pemimpin yang mampu mempertahankan keamanan dan mengatur masyarakat  dengan dukungan mereka. Diceritakan bahwa semua tua-tua Israel datang ke Rama menemui Samuel dan berkata, "Engkau sudah tua dan anak-anakmu tidak mengikuti jalanmu, angkatlah sekarang seorang raja atas kami, agar ia memerintah kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain (1 Samuel 8:5). Samuel segan; Tuhan menerangkan bahwa "bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak supaya jangan Aku memerintah mereka sebagai raja (Malak) (1 Sam.8:7 bnd. 12:12). [9]

1 Samuel 8:10-18 menjelaskan suatu jawaban para tua-tua "harus ada raja atas kami, maka kami pun akan sama dengan semua bangsa lain, raja kami akan menghakimi/memerintah kami dan memimpin kami dalam perang (1 Sam. 8:20 bnd. 1 Sam.12:12-17). Di samping suara yang sangat kritis terhadap pemerintahan itu, terdengar pula suara (yang mungkin lebi tua) yang menceritakan bahwa Tuhanlah yang berprakarsa mengangkat seorang raja (1 Sam. 9:1-10, 16; 11:1-15).

Memang Tuhan telah mempersiapkan Samuel sehari sebelum dia bertemu dengan Saul serta bujangya di pintu gerbang kota. Tuhan telah memberitahukan bahwa orang yang harus diurapinya sebagai pemimpin atas umat Israel akan disuruh datang kepadanya. Dengan urapan itu, Saul akan Tuhan tetapkan sebagai raja, dan perbuatan itu harus mendahului penerimaanya oleh rakyat yang akan diriwayatkan dalam pasal 11. Sebagian tugas penting yang harus di lakukan Saul sebagai raja ialah menyelamatkan umat Israel dari tangan orang Filistin, yang menyebabkan mereka menderita sengsara.[10]

Tuhan mengiijinkan dan menerima permitaan bangsa Israel "seorang raja" karena pada saat itu bangsa Filistin sedang menindas dan menjajah suku-suku Israel yang tidak berdaya lagi untuk mempertahankan diri. Dan Alkitab mencatat bahwa perjuangan antara Israel dan orang Filistin ini  berlangsung selama beberapa generasi. Di bawah pimpinan Eli, Samuel dan Saul, suku-suku Israel agak bersatu untuk melawan orang Filistin. Andakalanya orang Israel tampaknya hampir-hampir akan diperhambakan sama sekali. Sekitar 1000 SM di bawah pimpinan Daud, maka kuasa orang Filistin dipatahkan.[11]

Dalam situasi ini Tuhan menyuruh Samuel untuk mengurapi Saul menjadi nagid atas Israel dan "menyelamatkan Israel dari tangan orang Filistin (1 Sam.9:16:10-1). Walaupun Tuhan sendiri mampu menyelesaikan persoalan hidup mereka. Namun Tuhan memberikan kesempatan bagi manusia untuk menjadi wakil-Nya. Seperti Ia memakai Musa, Yosua dan hakim-hakim untuk menjadi alat-Nya sebagai penyelamat bagi umat-Nya.  Daud juga dikatakan nagid atas Israel (1 Sam.13:14; 25:30) dengan ketentuan ia melakukan perang Tuhan (1 Sam.25:28).

 Kedaulatan Allah Pemilihan-Nya

Kalau berbicara mengenai pemilihan Allah berarti berbicara mengenai kedaulatan-Nya. Sebab pengangkatan raja-raja adalah hak prakarsa Tuhan. Dalam bahasa Ibrani "mengangkat seorang raja" adalah bentuk kausatif yakni himlik, dari kata kerja malak (memerintah sebagai raja; bnd. 1 Sam.15:11, 35 ; 1 Raj. 3:7; 2 Taw. 1:8, 9,11). Allah juga dikatakan "memilih" (Ibr. Bakhar) orang yang akan diangkat (demikian 1 Sam.10:24 tentang Saul. Di Ulangan 17:15 menetapkan bahwa hanya seorang yang sudah dipilih Tuhan dapat dipilih Tuhan dapat diangkat sebagai raja.  Raja dapat disebut "orang pilihan Tuhan" (Saul, 1 Sam. 10:24: Daud, Mzm.89:4). Daud juga ditunjuk menjadi raja (tsiwwah, 1 Sam. 25:30 2 Sam.6:21).

Ketika masyarakat Israel mengangkat raja (2 Sam.2:4 ) Saul menerima Roh Tuhan bahkan Daud juga menerima Roh Tuhan. Unsur itu tidak pernah ada pada raja -raja bangsa Timur Tengah kuno lainnya. Hal ini dapat diketahui ketika Saul mendengar kabar raja Amon mau mengepung kota Yabesy di Gilead, maka berkuasalah Roh Tuhan atas dia, dan menyala-nyala amarahnya" (1 Sam. 11:1-16). Namun setelah Tuhan menolak Saul dan Tuhan mengirim roh jelek yang mengganggu jiwanya (1 Sam.16:14,23). Sehingga Roh Tuhan telah mundur daripada Saul, dan sekarang ia diganggu oleh roh jahat yang daripada Tuhan. Perilaku Saul kemungkinan seperti orang yang menderita penyakit jiwa, tetapi bukan sekedar penyakit jiwam tetapi kerasukan oleh suatu roh. Roh yang merasuki Saul itu adalah roh iblis, yang dikatakan berasal dari Allah dalam pengertian bahwa roh itu menindas Saul sesuai dari Allah dalam pengertian bahwa roh itu menindas Saul sesuai dengan izin Allah. Dalam kasus yang terakhir, Allah dilibatkan karena roh diutus oleh-Nya sebagai hukuman.[12]Pada waktu itu Tuhan menyuruh Samuel mengurapi Daud (1 Sam.16:1-13). Setelah diurapinya "sejak hari itu dan seterusnya berkuasa Roh Tuhan atas Daud" (1 Sam.16:13).

Cerita ini mengizikan kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Allah sendirilah yang mengambil prakarsa untuk memilih orang yang akan memimpin Israel. Pilihan-Nya itu tidak mengikuti pertimbangan yang lazim. Sebab pilihan itu pun tak dapat ditolak. Tuhan menyatakan keputusan melalui Roh-Nya.Kedua, Roh Tuhan mengubah hidup orang pilihan itu secara mutlak. Ketiga, bilamana Israel terancam punah, Tuhan memberikan Roh-Nya kepada seseorang agar ia "menyelamatkan" umat-Nya. Tuhan adalah satu-satunya Penyelamat (1 Sam. 10:19). Keempat, banyak pemimpin yang Tuhan angkat gagal. Demikianlah terjadi dengan Yefta, Simson, Saul, dan kemudian sejumlah raja di Samaria dan Yerusalem. Namun, Tuhan tak pernah membatalkan kesetiaan-Nya. Kelima, terdapat perbeda besar antara Israel Utara pada satu pihak, di mana raja tetap dipilih (sekalipun ada kemungkinan  bahwa anak menggantikan ayahnya) bnd. Hos.8:4: mereka telah mengangkat raja tanpa persetujuan-Ku dan 13:11 "Aku memberikan engkau seorang raja dalam murka-Ku)[13]

Pemerintahan secara Mornaki itu adalah atas seizin Tuhan. Bila diperhatikan nubuatan dalam Ulangan 17:14-20 harus dibatasi dengan larangan-larangan tertentu. Bangsa itu tidak boleh mengangkat siapapun yang tidak dipilih oleh Allah, dan raja tidak boleh melakukan sekehendak dan sesuka hatinya sendiri; Ia harus memerintah berdasarkan hukum Allah. Jadi Israel tetap mempunyai bentuk pemerintahan teokrasi, dimana raja hanya memerintah sebagai wakil Yahweh, Penguasa surgawi.[14]

Tanggung Jawab Seorang Pilihan Allah

Tuhan itu Raja. Ia tidak hanya mengikutsertakan manusia dalam pemerintahan-Nya, tetapi Ia menyerahkan tugas tersebut kepada raja dengan janji penyertaan dan menuntut agar kehendak-Nya dihormati demi keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintahan di dunia ini harus bertindak di bawah "Hukum Allah" dan senantiasa perlu diperingatkan jika ia melanggar kehendak Allah. Sebab sistem kepemimpin secara mornaki adalah harus setia kepada YHWH. Karena inilah syarat utama untuk mempertahankan sebuah kerajaan yang ideal. Kebebasan, kemerdekaan dan kelangsungan kesajahteraan seorang raja dan rakyat tergantung terhadap kesetiaan mereka kepada Tuhan melalui hukum-Nya. Oleh sebab itu ada beberapa hal tugas seorang raja yaitu sebagai berikut:

Raja pembebas

Sama seperti Tuhan mengangkat para hakim untuk membebaskan bangsaNya dari penindasan para musuh, demikian pula Ia mengangkat raja-raja untuk membebaskan bangsa dari ancaman yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Namun seseorang barangkali bertanya, mengapa Tuhan mengangkat Saul jika Ia tahu bahwa raja itu gagal? Tetapi pertanyaan seperti itu adalah keliru. Allah memakai Saul untuk mendatangkan kelepasan sementara bagi bangsa Israel dengan cara yang sama Dia telah memakai Gideon, Simson, dan hakim-hakim yang lain. Mereka semua mempunyai kegagalan-kegagalan namun Allah melaksanakan kehendak-Nya sekalipun mereka memiliki kekurangan. Saul mempunyai kemampuan untuk berhasil, tetapi dia tidak berkembang menjadi orang yang mengenal Allah. Sikap ketidakdewasaan menjadi semakin nyata saat yang diperbuatnya menunjukkan kegagalan-kegagalan.[15]

Adil dan memerintah dengan benar

Para tua-tua Israel meminta seorang raja untuk membebaskan mereka dari ancaman bangsa-bangsa lain. Mereka juga meminta seorang raja  agar ia melindungi mereka dari bahaya yang timbul dalam bangsa itu sendiri. Mereka memerlukan seorang yang menghakimi dengan adil dan memerintah dengan bijaksana.

Raja pembawa kesejahteraan

Raja harus membebaskan atau membela negerinya terhadap serangan bangsa-bangsa asing dan menjamin kemerdekaan. Ia pun harus membangun suatu tatanan masyarakat di mana rakyat kecil dan orang lemah tidak ditindas oleh para pembesar, tetapi menikmati keadilan. Raja diharapkan juga menunjang kesejahteraan dengan menentukan syarat-syarat di mana ekonomi dan budaya dapat berkembang.

Prespektif Dalam Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru pemerintahan secara teokrasi itu tetap berjalan, dimana Tuhan sebagai penguasa dan pemelihara hidup umat manusia. Untuk mewujudkan pemeliharaan-Nya bagi manusia, Allah memakai pilihan-Nya (pemerintah dunia) untuk memimpin manusia agar manusia itu mendapat keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran. Namun faktanya tidak semua pemerintah itu mengupayakan kesejahteraan, keadilan, penegakan hukum dan toleransi bagi rakyat. Seperti halnya yang dialami oleh orang-orang Kristen mula-mula pada masa pemerintahan Kaisar Nero, dimana mereka tidak mendapatkan keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan, tetapi orang-orang Kristen pada saat itu mendapat aniaya dan siksaan dari pemerintah. 

Dalam pandangan Paulus dalam Roma 13:1-7 Rasul Paulus menasihatkan kepada orang-orang Kristen untuk menaati pemerintah mereka dan memenuhi kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan pemerintahan. Memang pemerintah itu berasal dari Allah dan ditetapkan oleh Allah sehingga masyarakat harus tahluk dan tunduk serta tidak boleh melawan. Namun ada yang perlu diperhatikan tidak semua pemerintah itu sistem pemerintahannya sesuai dengan kehendak Tuhan. Oleh sebab itu maksud dari pernyataan rasul Paulus dalam Roma 13:1-7 ini kepada umat Kristen di Roma, sikap tahluk kepada pemerintah harus mereka tunjukkan bukan saja dengan tidak melawan pemerintah, melainkan juga dengan berbuat baik dan membayar pajak. Sejauh mereka berbuat baik mereka tidak perlu takut kepada pemerintah.[1]

Nasihat Paulus ini bukanlah suatu yang diikiuti lurus-lurus, hal ini merupakan sebuah nasihat pastoral untuk jemaat di Roma yang berada dalam situasi tertentu. Dengan kata lain Rom. 13:1-7 tidak meminta kita untuk tahluk secara membabi buta kepada pemerintah dan kehilangan sikap kritis kita terutama terhadap pemerintah yang lalim. Jemaat Kristen perlu untuk mendengarkan suara hatinya untuk melihat apakah pemerintah yang ada merupakan pemerintah yang pantas disebut pemerintah yang ditetapkan oleh Allah.

Sebab konteks pada saat itu orang Yahudi melakukan pemberontakan sampai ke Palestina, terutama ke Galilea. Ada oran Zelot yang terus melakukan pertentangan pada pemerintah Romawi saat itu. Mereka meyakini bahwa hanya Allah yang berkuasa dan tidak ada raja bagi orang-orang Yahudi. Menurut golongan ini hanya Allah yang bersedia menerima persembahan sehingga mereka tidak memberikan upeti.  Dimana mereka ini melakukan terror terhadap pemerintah Romawi. Inilah yang melatarbelakangi Paulus menasetkan orang-orang Kristen pada saat itu agar mereka menjadi warga Negara yang baik yaitu membayar pajak dan melakukan kebaikan. [2]



[1]Paskalis Edwin Nyoman Paska, Haruskah Kita Tahluk Kepada Pemerintah?. SAPA Jurnal Kateketik dan Pastoral. Vol 1 No. 2 Nopember 2016.

[2]Yudhy Sanjaya dkk,  Teologi Politik: Politik Praktis Orang Percaya Menurut Roma 13:1-4, Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, Vol 5, N0 1 Maret 2020.

Terimakasih telah berkujung.....

 


[4]https://wartakota.tribunnews.com/2020/04/28/daftar-kekejaman-kim-jong-un-pamannya-untuk-makan-anjing-sampai-ajudan-dijadikan-empan-ikan-ganas

[5]M.E Manton B.A. Kamus Istilah Teologi, (Gandum Mas, Malang 1995) hlm.14

[6]Saut Sirat, Politik Kristen Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulias, 2006) hlm. 89

[7]https://id.wikipedia.org/wiki/Monarki#:~:text=Monarki%20(atau%20Kerajaan)%20berasal%20dari,adalah%20sistem%20tertua%20di%20dunia.

[8]Paul Enns, The Moody Handbook Of Theology,(Malang: Literatus SAAT, 2003) 69

[9]Christoph Barth Marie & Claire Barth,Teologi Perjanjian Lama 2,(Jakarta: Gunung Mulia, 2010) 61

[10]Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab 1 & 2 Samuel, (Jakarta: PT BPK Mulia, 2017) hlm. 81

[11]Samuel J. Schultz, Pengatar Perjanjian Lama Taurat  Sejarah, (Malang: Gandum Mas,2001) 53

[12]L.Thomas Holdcroft, Kitab-kitab Sejarah, (Malang: Gandum Mas,1992)hlm. 89

[13]Christoph Barth Marie & Claire Barth,Teologi Perjanjian Lama 2,(Jakarta: Gunung Mulia, 2010) 66

[14]Walter C. Kaiser, Jr. Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2004) 192

[15]Andrew E. Hill & John H. Walton,Survei Perjanjian Lama,(Malang: Gandum Mas, 2013) 269

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter