Penulis: Azalia C. Sitompul
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Setiap orang memiliki filsafatnya masing-masing. Sama halnya dengan abad 15 hingga 18. Para filsuf-filsuf juga memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Hal ini juga berkaitan dengan adanya teologi Kristen yang ada pada masa tersebut. Hal ini terjadi pada masa-masa reformasi.
Seitap orang memiliki kebiasaan untuk melakukan penalaran secara tetap, dan membersihkan pikiran dengan tetap. Pada akhirnya hal ini akan menyebabkan orang tersebut dapat menerima penyelesaian yang tidak memadai dan sementara, juga tidak diterima masyarakat.
Dalam masa-masa reformasi hingga pencerahan lahir sebuha pemikiran-pemikiran yang modern. Hal itu menimbulkan banyaknya pendapat mengenai diktrin-doktrn Allah dan penolakannya. Akhirnya terlihat adanya gerakan-gerakan besar tertentu. Disini adanya penolakan mengenai adanya kesepahaman antara doktin Tritunggal dengan Unitarianisme, juga menolak mengenai doktrin penebusan sebagai sesuatu yang tidak bermoral dan tidak masuk akal.
Pada zaman Reformasi banyak doktrin-doktrin yang ada mengenai Trinitas. Dalam hal ini terdapat pengakuan pada tahun 1530 Augsburg mengatakan “bahwa ada satu zat ilahi yang disebut dan adalah Allah, tetapi meskipun demikian ada tiga Pribadi dari kuasa dan zat yang sama, yang juga sama kekal, Bapa, Anak, dan Roh Kudus”. Juga terdapat pengakuan pada tahun 1647 dari Westmiinster yang menyatakan bahwa “Di dalam keesaan Keallah ada tiga Pribadi dari satu zat, kuasa, dan kekekalan: Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Bapa tidak berasal dari siapapun, tidak diperanakkan atau keluar dari: Anak secara kekal diperanakan dari Bapa: Roh Kudus secara kekal keluar dari Bapa.
Pada abad yang ke-16 Socinianisme menolak adanya keberadaan Anak, menganggap Dia hanya seorang manusia. Paham ini mengajarkan adanya satu zat ilahi yang terdiri dari hanya satu Pribadi.
Kekristenan itu tidak terlepas dari adanya perdebatan filsafat. Filsafat ini merupakan sebuah sarana dalam mempertimbangkan kenyataan dari kebenaran yang ada. Filsafat ini harus dipergunakan dengan baik agar tidak menyimpang dari kebenaran yang telah ditetapkan Allah.
Banyak sekali filsafat yang dibangun tidak berdasarkan dengan Alkitab, bahkan filsafat tersebut bersifat radikal terhadap Alkitab, dan hal ini mendorong manusia untuk menghasilkan dan pengertian yang baru.
BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat
Kata ‘filsafat’ berpadanan dengan kata philosophy dalam bahasa Inggris, berpadanan dengan kata falsafah dalam bahasa Arab.[1]Secara etimologi filsafat beasla dari bahsa Yunani Philosophia yan terdiri dari 2 kata, ayitu philein yang artinya cinta dan kata Sophia ynag artinya biijaksana. Dari sini dapat diketahui bahwa Philosophia memiliki makna cinta kebiijaksanaan. Dan seorang yang berfilsafat disebut filsuf. Filsuf merupakan seseorang yang cinta akan kebijaksanaan ataupun orang yang selalu mencari kebijaksanaan.
Karaketristik Berpikir Filsafat
Dalam berpikir filsafat harus dengan aturan atau syarat yang harus terpenuhi untuk mengatakan bahwa hal itu termasuk berpikir filsafat. Berpikir secara berulang dan terus menerus merupakan berpikir filsafat.
Terdapat beberapa karakteristik dari berpikir filsafat, antara lain:
1. Berpikir radikal
Hal ini bearti dengan terus mencari akar dari realitas. Hal ini tidak berarti terdapat tujuan untuk mengubah, membuang, atau memutarbalikan segala sesuatu, melainkan berpikir secara mendalam untuk mengetahui akar dari persoalan yang ada. Berpikir radikal ini memperjelas realitas melalui penemuan dan pemahaman akan akar dari realitas itu.
2. Berpikir mencari asas
Hal ini menunjukkan bahwa dalam memandang keseluruhan realitas, Filsafat terus mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realitas. Mencari asas pertama berarti juga menemukan sesuatu yang menjadi esensi realitas. Dengan menemukan esensi suatu realitas, maka realitas itu dapat diketahui dengan pasti dan menjadi jelas.
3. Berpikir memburu kebenaran
Hal ini menunjukan bahwa filsuf adalah seorang yang mencari kebenaran. Dan kebenaran yang dicari merupkan kebenaran yang hakiki mengenai seluruh realitas. Dengan ini, maka berfilsafat dapat memnjelaskan proses mencari kebenaran mengenai segala sesuatu. Untuk menemukan kebenaran yang sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan, setiap kebenaran yang ada, harus terbuka untuk dipersoalkan kembali.
4. Berpikir mencari kejelasan
Hal ini menunjukkan bahwa seorang filsuf harus memiliki usaha untuk meraih kejelasan intelektual. Dengan ini, berfilsafat berarti berusaha keras untuk mencari kejelasan realitas secara menyeluruh. Hal ini berakiibat mengikisnya keraguan terhadap kebenaran suatu realitas.
5. Berpikir rasional
Hal ini berarti berpikir logis, sistematis, dan kristis. Berpikir logis berarti berpikir dengan diikuti arus logika untuk dapat menarik sebuah kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari premis yang dipakai. Berpikir logis ini menuntut agar pemikiran dapat sistematis. Berpikir sistemati ialah berpikir dengan mencari hubungan yang logis antara kenyataan. Berpikir kristis ialah berpikir dengan menguuji berbagai untuk ketidakbenaran akan kesimpulan atas kenyataan yang akan diputuskan.
Metode Filsafat
Kata metode dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Latis methodus yang artinya jalan mencari ilmu. Dalam bahasa Yunani dikelas dengan nama methodos yang terdiri dari meta yang artinya melampaui dan hodos yang berarti jalan. Maka metode berarti jalan yang sistematis untuk mendapatkan pengetahuan.
Umumnya terdapat dua metode ilmiah yang diapkai ilmu pengetahuan dan ilmu kemanusiaan, yaitu metode ilmiah deduksi dan induksi. Metode ilmiah deduksi adalah metode ilmiah yang bersifat a priori. Metode ini tidak berasl dari data empiris atau pengalaman, namun dari suatu kebenaran, konsep atau definisi yang dicontohkan. Kebenaran atau konsep tersebut terdapat dalam pikiran seseorang. Akal budi dianggap sebuah gudang definisi atau prinsip yang universal yang dapat diterapkan untuk menjelaskan situasi atau peristiwa partikular. Metode ini umumnya digunakan dalam praktik ilmu seperti kedokteranm matematika, dan teologia.
Metode ilmiah induksi yang bersifat a posteriori. Proses metode ini berasal dari data empiris dan melalui proses abstraksi memasuki akal budi. Sebelum akal budi membentuk kesimpulan sebagai prinsip universal, sejumlah data empiris dikumpulkan , diobservasi, diteliti, dikaji, dan dianalisis.
Filsafat pada Abad XV-XVIII
Pada abad 16 , dikenal dengan zaman Renaissance. Ciri utama dari zaman ini adalah Humanisme, individualisme (lepas dari aturan oleh agama), empirisme, dan rasionalisme. Hal ini terjadi karena pada masa itu sudah berkembang pengetahuan akan rasion Filsafat pada zaman modern. Pada saat itu agama Kristen mulai ditinggalkan. Dan banyak gerakan pemikiran yang seharusnya menghasilkan hal yang positif, namun banyak juga yang menghasilakn hal yang negatif. Tokohnya dalam filsafat modern ini adalah Descrates. Ciri utamanya lagi adalah rasionalisme yang menyatakan bahwa kebenaran berpusat dari akal, namun bergantung pada subjek yang menggunakannya. Pada abad sekitaran 15 hingga 16, Herbert menganggap bahwa akal memeiliki otonimu mutlak dalam bidang agama. dan ia menentang adanya kepercayaan yang berdasarkan wahyu. terhadap hal ini ia bermaksud untuk menegguhkan kebenaran dasar alamiah dari agama. Pada abad 17, David Hume mengembangkan filsafat empirisme dari Locke dan Berkeley. Ia yang menyebabkan filsafat menjadi tidak masuk akal. Dan pada abad 18 disebut dengan masa aufklarung. Masa ini yang mewujudkan hasil dari rasionalisme dan empirisme.
Teologi Kristen abad XV-XVIII
Teologi Kristen berkaitan dengan keyakinan yang kuat yang membuat setiap orang dapat berkomitmen karena kepercayaan dalam Kristen.
Pada abad 16 atau disebut Hal ini berkaitan dengan masa Reformasi. Para pembaharu dan semua pengakuan Reformasi menyatakan doktrin Trinitas menurut model ortodoks yang disusun di dalam gereja mula-mula.[2]
Tokoh paling penting pada masa ini yaitu Martin Luther. Melalui upacara gereja yang tradisional Luther bertemu dengan Allah bukan ssebagai orang asing melainkan sebagai seorang Sahabat, bukan sebagai seorang hakim tetapi sebagai seorang Juruslamat yang mengampuni orang-orang yang kembali kepadaNya di dalam iman yang murni. Pengertian baru ini terungkap di dalam doktrin pembenaran melalui iman yang menjadi dasar (kepercayaan) Reformasi.[3]Disini para Lutheran berangaapan bahwa manusia tidak dapat dibenarkan dalam pandangan Allah melalui kekuatan, jasa-jasa, atau perbuatan-perbuatan mereka sendiri; sebaliknya, secara Cuma-Cuma mereka dibenarkan karena Kristus melalui iman, pada waktu mereka percaya bahwa mereka diterima dalam anugrah dan dosa mereka diampuni karena Kristus yang melalui kematianNya sendiri menyelesaikan dosa manusia. Iman ini diperhitungkan Allah sebagai kebenaran dalam pandanganNya sendiri. Para reformatr pada abad 16 dikuasi oleh minat terhadap Allah. mereka mengambil sebgai titik-tolak tindakan Alla di dalam Kristus, sebagiamana yang disaksikan oleh Alkitab. Dari situ mereka mulai meikirkan dunia. Orang-orang rasionalis pada abad 17 tidak terlalu terpikat terhadap Allah melainkan terhadap dunia . orang-orang tersebut banyak menjadi ilmuwan, titik tolak mereka adalah logika dan tekniknya berasal dari matematika. Gagasan mengenai Allah mengambil tempat yang sedikit banyak penting dalam pemikiran mereka. Mereka tergugah dnegan struktur rasional dan semesta ini.
Pada masa-masa ini juga banyak anggapan mengenai trinitas yang didalamnya terkandung zat ilahi. Dalam konsep Trinitas ini Allah berada dalam persekutuan yang sempurna, abadi, dan tidak terpecahkan dalam diri-Nya sebelum penciptaan.[4]Dalam hal ini ajaran Trinitas menegaskan bahwa ke-Allah, kesatuan dan kemajemukan sama fundamentalnya.
Kontribus Filsafat dalam Teologi Kristen abad XV-XVIII
Dari adanya ikut campurannya filsafat dalam Teologi Kristen pada abad ini, banyak hal yang dapat dipelajari. Dan hal ini mendorong untuk setiap orang dapat berpikir filsafat dengan baik berdasarkan pada kebenaran. Juga mendorong orang untuk mencari kebenaran melalui Alkitab. Dan dari Alkitab ini orang-orang dapat menumbuhkan iman kekristenannya.
Filsafat ini sangat membantu bagi para-para filsuf untuk mencari kebenaran mengenai Allah. dan ini membantu pula dalma membangun iman Kristen pada para tokoh yang akhirnya mengahsilkan kebenaran-kebenaran yang masuk akal dan dapat diterima oleh banyak orang.
Dari adanya filsafat ini mendorong orang-orang pada masa itu untuk menaruh perhatian pada pemikiran yang cermat. Dan disini filsafat berusaha untuk menyuguhkan jawaban yang komperehensif pada pertanyaan-pertanyaan mengenai Teologi. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai kenyataan yang menganggumkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam dunia Teologi tidak akan terlepas dari filsafat-filsafat setiap oranG. Karena setiap orang dapat berfilsafat dan berteologi. Orang tidak dapat berteologi jika tidak bantuan filsafat. Filsafat ini juga membantu seseorang untuk berteologi, namun tetap nilai kebenaran yang hakiki terletas pada Alkitab. Kontribusi filsafat dalam teologi Kristen pada abad XV-XVIII ini membawa para pemikir untuk mengerti akan kebenaran. Dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengani kebenran. Iman mereka juga makin bertumbuh walalupun tidak semua. Dan hal ini mendorong untuk para pemikir memikiran realita dan kebenarannya.
Filsafat ini membantu seseorang dalam berteologi. Karena hal ini membantu dalam mencari kebenaran-kebenaran yang ada. Namun, setiap orang yang berfilsafat untuk berteologi harus memiliki dasar Alkitab agar tidak menyimpang ke hal-hal yang menjauhi kebenaran. Dan sebagai seorang yang berifilsafat, haruslah bijaksana dalam menemukan kebenaran-kebenaran yang sesuai.
Saran
Bagi para filsuf, haruslah berfilsafat sesuai dengan kebenaran yang berdasarkan pada Alkitab untuk menjauhi adanya penyimpangan-penyimpangan. Bagi kehidupan orang percaya masa kini, harus dapat menggunakkan filsafat dengan baik, karena dengan adanya filsafat ini membantu dalam seseorang memiliki teologinya dengan berdasarkan pada Alkitab.
[1]Aripin Banasuru, Filsafat dan Filsafat Ilmu Dari Hakikat ke Tanggung Jawab, Bandung: Alfabeta, 2013, 2.
[2]Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 1, Yogyakarta: ANDI, 1991, 85.
[3]Colin Brown, Filsafat dan Iman Kristen 1, Surabaya: Momentum, 2005, 52.
[4]Norman dan Paul, Filsafat dari Perspektif Kristiani, Malang: Gandum Mas, 2002, 188.
Post a Comment
Post a Comment